BeritaBerita UtamaKepulauan RiauOpiniTanjungpinang

Prabowo Lantang Mengutuk Aksi Penjarahan Rumah, Tapi Bungkam pada Penjarah Alam di Indonesia

87
×

Prabowo Lantang Mengutuk Aksi Penjarahan Rumah, Tapi Bungkam pada Penjarah Alam di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Kader Himpinan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tanjungpinang-Bintan, M. Farid Al Baqir

Oleh: Kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tanjungpinang-Bintan, M. Farid Al Baqir

Selingsing.com, Opini – Baru-baru ini, Presiden Prabowo Subianto tampil lantang mengutuk aksi penjarahan rumah dan instansi saat demonstrasi. Ia menyebutnya tindakan kriminal, anarkis, dan perusak ketertiban umum. Nada suaranya keras, penuh emosi, seperti ingin memastikan negara tak tunduk pada massa. Tapi, anehnya, ketika bicara tentang penjarahan yang jauh lebih besar dan sistematis penjarahan laut, pesisir, tanah adat, dan sumber daya alam Indonesia, termasuk di Kepulauan Riau amarah itu hilang.

Kepri, wilayah yang dikenal sebagai gerbang maritim Indonesia, tengah menghadapi krisis yang jarang masuk ke layar televisi nasional. Laut yang dulu jadi ruang hidup nelayan, satu per satu berubah fungsi menjadi kawasan reklamasi, industri, hingga megaproyek properti elit. Pasir laut yang menjadi fondasi ekosistem pesisir, dikuras atas nama investasi. Nelayan kehilangan ruang tangkap, biota laut rusak, dan masyarakat pesisir semakin tersisih.

Di pulau-pulau kecil, ancaman lebih nyata lagi. Beberapa pulau di Natuna dan Lingga terkikis oleh tambang pasir dan reklamasi. Laut yang seharusnya dijaga justru dijadikan komoditas. Rakyat yang hidup turun-temurun di pesisir dipaksa menyingkir, sementara investor dengan mudah mendapat izin. Ironisnya, semua berjalan legal—dengan restu pemerintah pusat dan daerah, bahkan dikawal aparat.

Dan kasus paling mencolok adalah di Rempang-Galang, Batam. Tanah adat yang sudah dihuni masyarakat selama ratusan tahun direncanakan untuk diubah menjadi kawasan industri dan pariwisata lewat “Proyek Rempang Eco-City.” Ribuan warga dipaksa pindah dari tanah leluhurnya, digantikan dengan janji investasi asing bernilai triliunan. Prosesnya jauh dari adil: aparat bersenjata dikerahkan, bentrokan pecah, anak-anak sekolah menangis karena gas air mata, dan warga diintimidasi. Apakah itu bukan penjarahan? Bukankah merampas tanah adat demi kepentingan korporasi adalah bentuk perampasan yang paling keji?

Inilah bentuk penjarahan yang tidak kalah brutal dibanding massa yang menjarah rumah atau toko. Bedanya, penjarahan ini berlangsung senyap, rapi, dan menggunakan bahasa manis: “pembangunan,” “investasi,” atau “pertumbuhan ekonomi.” Para penjarahnya bukan massa bertopeng, melainkan korporasi raksasa, banyak di antaranya memiliki koneksi politik dengan lingkar kekuasaan.

Dan di tengah semua itu, Presiden diam. Ia bisa menggebrak meja saat rumah pejabat diserang, tapi tak bersuara saat tanah adat di Rempang dirampas. Ia bisa mengecam kerusuhan yang merusak gedung, tapi tak pernah menyebut bahwa penggusuran masyarakat adat demi proyek besar adalah bentuk penjarahan paling telanjang.

Lebih ironis lagi, sejumlah kebijakan yang mempercepat eksploitasi itu justru mendapat sokongan penuh dari pemerintahannya. Dalih hilirisasi, ketahanan energi, dan investasi asing terus digembar-gemborkan, tapi dampaknya jelas: rakyat kecil yang dikorbankan. Nelayan tak bisa lagi mencari ikan, petambak kehilangan lahan, dan masyarakat adat terusir dari tanah kelahirannya.

Prabowo benar bahwa penjarahan rumah adalah tindak kriminal. Tapi lebih benar lagi bahwa penjarahan laut, pulau, dan tanah adat dengan izin negara adalah pelanggaran terhadap kemanusiaan. Ia mungkin berani melawan massa di jalanan, tapi bisu di hadapan kuasa modal yang merampas tanah dan laut rakyat.

Indonesia, terutama wilayah maritim seperti Kepulauan Riau, butuh pemimpin yang bukan hanya melindungi gedung dan simbol negara, tapi juga menjaga laut, pantai, dan tanah adat yang menjadi sumber hidup jutaan orang. Butuh keberanian untuk menertibkan bukan hanya rakyat kecil, tapi juga korporasi besar yang selama ini bebas merampas dengan dalih pembangunan.

Kalau Prabowo ingin konsisten, kemarahannya harus meluas: dari penjarah rumah ke penjarah laut, dari penjarah toko ke penjarah pasir, dari penjarah fisik ke penjarah tanah adat. Karena sejatinya, penjarahan terbesar bukan yang tampak dalam kerusuhan sesaat, melainkan yang dilegalkan oleh izin, berlangsung dalam diam, dan meninggalkan luka panjang bagi rakyat pesisir dan masyarakat adat.

Dan hari ini, semua mata termasuk mata Presiden harus berani melihat kenyataan itu. Bukan sekadar dengan kata-kata keras, tapi dengan keberanian untuk menghentikan penjarahan sejati yang sedang berlangsung di laut, tanah, dan pulau-pulau negeri ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *