TANJUNGPINANG, Selingsing.com – Peredaran narkoba di Kota Tanjungpinang kembali menjadi perhatian serius setelah berbagai data dari BNN, Polresta, dan Polda Kepri menunjukkan bahwa kasus narkotika masih terus meningkat hingga penghujung 2025.
Menyikapi kondisi tersebut, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Tanjungpinang-Bintan menyampaikan pandangan keras terkait situasi yang mereka sebut sebagai masalah yang sudah terlalu lama dibiarkan.
Menurut PJ. Ketua Umum HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan Tomi Suryadi, kasus narkoba di Tanjungpinang tidak lagi bisa dianggap sebagai isu kriminal semata.
Ia menegaskan bahwa data pengungkapan ratusan kasus narkotika hingga Oktober 2025 justru menunjukkan bahwa jaringan narkoba masih sangat aktif dan pasar lokal masih terbuka lebar.
“Semakin banyak pengungkapan bukan berarti masalah selesai. Itu justru bukti bahwa jaringan di lapangan tetap bergerak dan permintaan masyarakat masih tinggi,” ujarnya.
Tomi menambahkan bahwa beragam jenis narkotika yang ditemukan mulai dari sabu, ekstasi, hingga cairan vape mengandung narkotika membuktikan bahwa pelaku terus beradaptasi dengan metode baru untuk memenuhi kebutuhan pasar di Tanjungpinang.
Sementara itu, Kabid PTKP HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan Yuki Vegoeista, menyoroti aspek yang lebih memprihatinkan, yaitu keterlibatan oknum aparatur pemerintah dalam sejumlah kasus narkotika.

Menurutnya, hal ini bukan lagi persoalan individu melainkan menunjukkan adanya kelemahan sistem pengawasan internal.
“Kalau aparat yang justru menggunakan atau ikut mengedarkan, bagaimana publik bisa percaya pada upaya pemberantasan? Ini memukul kepercayaan masyarakat,” tegas Yuki.
Kedua narasumber juga menilai bahwa faktor geografis Kepulauan Riau turut memperkuat maraknya peredaran narkoba.
Dengan banyaknya jalur laut, pulau-pulau kecil, dan pelabuhan yang menjadi pintu masuk barang, wilayah Kepri termasuk Tanjungpinang menjadi titik rawan penyelundupan.
Namun menurut Tomi, permasalahan terbesar saat ini adalah pendekatan penanganan yang terlalu berfokus pada operasi dan penangkapan tanpa dibarengi upaya serius menurunkan permintaan.
“Pertanyaannya, apakah pengguna di masyarakat berkurang? Kalau permintaan tetap tinggi, penangkapan hanya menunda suplai, bukan menyelesaikan masalah,” jelasnya.
Dalam pandangan HMI, faktor lingkungan dan minimnya ruang aktivitas bagi remaja turut memicu kerentanan penyalahgunaan narkoba di Tanjungpinang.
Yuki menyebut bahwa studi-studi daerah telah menunjukkan bahwa tekanan ekonomi, pengaruh teman sebaya, serta kurangnya ruang publik yang hidup dapat mendorong anak muda mencoba narkotika.
Selain itu, masalah rehabilitasi juga menjadi sorotan. Banyak pengguna justru berakhir di proses hukum tanpa mendapatkan rehabilitasi komprehensif. Kurangnya pendampingan pascaprogram membuat mereka rentan kembali ke lingkaran yang sama.
“Kalau setelah keluar mereka kembali ke lingkungan lama tanpa pekerjaan dan tanpa dukungan, kemungkinan kambuh itu sangat besar,” kata Yuki.
Meski begitu, HMI mengapresiasi kerja aparat yang berhasil mengungkap sejumlah kasus besar. Namun, mereka menegaskan bahwa indikator keberhasilan tidak boleh hanya dilihat dari jumlah kilogram sabu yang dimusnahkan.
“Yang terpenting adalah apakah masyarakat semakin terlindungi dan apakah generasi muda makin kecil risikonya untuk mencoba narkoba,” ujar Tomi.
HMI menegaskan bahwa Tanjungpinang membutuhkan strategi penanganan narkoba yang lebih integratif. Mereka mendorong sinergi antara pemerintah kota, BNNK, kepolisian, sekolah, komunitas, dan keluarga.
“Kebijakan harus berbasis bukti, bukan sekadar seremonial. Sudah waktunya Tanjungpinang punya langkah yang lebih berani dan lebih jujur,” tutup Tomi.
HMI Cabang Tanjungpinang-Bintan berharap pernyataan ini dapat menjadi alarm bagi semua pihak agar penanganan narkoba di Tanjungpinang tidak lagi berjalan setengah hati, mengingat yang dipertaruhkan adalah masa depan masyarakat dan generasi muda kota tersebut.






