Oleh: Selvi Dian, Mahasiswa Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP UMRAH.
Pelayanan kesehatan di wilayah kepulauan kembali menjadi perbincangan penting dalam konteks pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pulau Pekajang, yang berada di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau menjadi contoh bagaimana pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah belum sepenuhnya mampu menjamin pemerataan layanan kesehatan, terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah terluar.
Secara normatif, pelaksanaan desentralisasi memiliki landasan hukum yang kuat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kesehatan merupakan urusan wajib pelayanan dasar yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sementara itu, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menekankan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau tanpa diskriminasi. Selain itu, amanat UUD 1945 Pasal 34 ayat (3) menyatakan bahwa negara bertanggung jawab menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan yang layak bagi seluruh rakyat.
Namun, kenyataan di Pulau Pekajang menunjukkan bahwa implementasi regulasi tersebut belum berjalan optimal. Akses menuju pusat kabupaten Lingga dapat memakan waktu sekitar 10 – 12 jam perjalanan laut.
Kondisi geografis ini menyebabkan warga Pekajang menghadapi kendala serius ketika membutuhkan layanan kesehatan, terutama dalam situasi darurat. Fasilitas kesehatan di pulau tersebut hanya menyediakan layanan dasar dengan keterbatasan tenaga medis, minimnya ketersediaan obat, serta kurangnya fasilitas penunjang. Bahkan untuk rujukan pasien gawat darurat, masyarakat harus menggunakan kapal nelayan atau speedboat sewaan, yang selain berisiko tinggi juga membutuhkan biaya besar.
Fakta lapangan ini menimbulkan pertanyaan apakah pelaksanaan desentralisasi benar-benar sudah berpihak pada kebutuhan masyarakat daerah kepulauan? Secara teori, otonomi daerah seharusnya memberikan ruang yang luas bagi pemerintah daerah untuk berinovasi dan menyesuaikan kebijakan dengan karakteristik geografis wilayahnya. Namun, berbagai hambatan seperti keterbatasan anggaran, koordinasi yang kurang efektif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah , serta belum adanya kebijakan afirmatif khusus untuk daerah kepulauan, membuat pelayanan kesehatan di wilayah terluar masih jauh dari kata ideal.
Melihat kondisi tersebut, muncul dorongan agar pemerintah menerapkan desentralisasi asimetris, yaitu perlakuan khusus bagi wilayah-wilayah yang memiliki kondisi geografis ekstrem dan berada di perbatasan. Beberapa alternatif solusi yang dianggap strategis seperti penambahan tenaga kesehatan kontrak daerah, pemanfaatan layanan telemedicine untuk konsultasi spesialis jarak jauh, penyediaan kapal ambulans laut untuk rujukan darurat, serta percepatan program rumah sakit terapung (floating hospital) bagi wilayah perairan terpencil.
Selain itu partisipasi masyarakat daerah juga sangat penting untuk mengawal kebijakan dan memastikan bahwa anggaran kesehatan di wilayah kepulauan tepat sasaran. Pelayanan kesehatan bukan hanya urusan administratif, melainkan hak dasar warga negara yang harus dipenuhi secara manusiawi.
Desa Pekajang menunjukkan bahwa keberhasilan desentralisasi tidak dapat diukur dari daerah perkotaan saja. Ukurannya adalah kemampuan negara dalam menjamin hak layanan kesehatan hingga pulau paling jauh. Masyarakat Pekajang telah berkontribusi menjaga batas maritim negara, dan sudah sepantasnya negara hadir secara nyata melalui pelayanan kesehatan yang memadai.
Pada akhirnya, desentralisasi tidak boleh berhenti sebagai konsep atau slogan. Ia harus hadir dalam bentuk kebijakan yang berpihak, adil, dan berorientasi pada kemanusiaan. Wilayah kepulauan seperti Pekajang tidak boleh terus menjadi penonton pembangunan mereka berhak merasakan kehadiran negara secara langsung.






