Opini

Suara yang Hilang Di Bunda Tanah Melayu

27
×

Suara yang Hilang Di Bunda Tanah Melayu

Sebarkan artikel ini

Selingsing.com, Opini – Di Tanah Bunda Melayu, tempat sejarah pernah menorehkan kejayaan dan kebijaksanaan, kini gema perjuangan itu perlahan memudar. Lingga, bumi yang subur dengan budaya dan kearifan lokal, seolah sedang kehilangan suaranya.

Dulu tanah ini menjadi saksi lahirnya tokoh-tokoh yang bersuara lantang memperjuangkan kebenaran. Kini, yang terdengar hanya sunyi, suara yang seharusnya mengguncang dinding kekuasaan, kini tenggelam dalam kenyamanan dan ketakutan.

Masyarakat Lingga masih berjuang dalam keterbatasan. Di desa-desa, listrik belum menyala penuh, anak-anak belajar dibawah cahaya lampu seadanya, nelayan menantikan perhatian agar hasil laut mereka bisa bernilai lebih, dan petani berharap tanahnya digarap dengan layak.

Namun suara mereka jarang sampai ke telinga para pengambil kebijakan. Bukan karena rakyat tak mau bersuara, tapi karena corong yang dulu menjadi lidah penyambung mereka kini diam. Mahasiswa yang seharusnya menjadi mata, telinga, dan suara rakyat kini lebih nyaman menonton dari jauh. Mereka menulis opini, mengkritik lewat tulisan, dan mendesak lewat kata-kata dengan bahasa akademis, tapi lupa bahwa rakyat di desa-desa tidak membaca portal berita.

Gerakan yang seharusnya menjadi denyut nadi rakyat kini terjebak dalam kenyamanan berpendapat tanpa tindakan. Padahal suara mahasiswa bukan sekadar tulisan di media, tapi seharusnya menjadi teriakan nurani di tengah penderitaan rakyat.

Setiap diam dari mahasiswa adalah kehilangan arah bagi masyarakat. Setiap tulisan yang tidak diikuti tindakan adalah tanda bahwa nurani mulai berjarak dari kenyataan. Mahasiswa seharusnya tidak hanya menjadi pemikir, tetapi juga penggerak. Mereka perlu kembali hadir di tengah rakyat, menjadi saksi dan pengawal agar pembangunan tidak hanya berhenti pada janji.

Sebab jika mahasiswa terus diam, maka kelak, yang akan menulis sejarah tentang Lingga bukan mereka yang berjuang, melainkan mereka yang membiarkan kesedihan ini terus berulang.

Penulis: Merry Dwi Afrillina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *