AnambasBatamBeritaBerita UtamaBintanDaerahKarimunKepulauan RiauLinggaNasionalNatunaTanjungpinang

Pernyataan Endipat Soal Dana Bencana dan Wajah Asli Politik Representasi

85
×

Pernyataan Endipat Soal Dana Bencana dan Wajah Asli Politik Representasi

Sebarkan artikel ini
Opini: Adiya Prama Rivaldi Ketua Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau

Selingsing.com, Opini – Pernyataan Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Gerindra dari Dapil Kepri, Endipat Wijaya, yang belakangan viral karena komentarnya mengenai perbandingan bantuan negara dan sumbangan relawan, membuka luka lama terkait relasi kekuasaan, sensitivitas terhadap penderitaan rakyat, dan kegagapan pejabat publik dalam membaca dinamika ruang sosial.

 

Apa yang ia sampaikan bukan sekadar kelalaian komunikasi, tetapi sebuah potret cara pandang, bahwa narasi publik harus diarahkan, kritik harus ditepis, dan inisiatif masyarakat harus tunduk pada besar kecilnya anggaran negara.

 

Di tengah tragedi bencana, masyarakat membutuhkan empati. Yang muncul justru retorika kompetitif, seolah penanganan bencana adalah ajang unjuk skor antara negara dan warga negara.

 

Pernyataan Endipat bahwa relawan yang menyumbang Rp 10 miliar “kalah” dengan negara yang “triliunan” bukan hanya tidak sensitif, tetapi secara filosofis keliru. Ia mengabaikan fakta paling mendasar dalam penanggulangan bencana: korban tidak merasakan angka, mereka merasakan kehadiran.

 

Negara vs. Relawan: Pertarungan Narasi yang Tidak Semestinya Ada

 

Endipat menegaskan pentingnya Komdigi untuk “mengamplifikasi” narasi pemerintah agar tidak kalah viral dari relawan, terutama mereka yang disebutnya “sok paling-paling di Aceh, di Sumatera.” Penggunaan istilah merendahkan seperti ini dalam forum resmi DPR RI menunjukkan kegagapan pejabat publik dalam menghadapi realitas baru, publik kini memiliki suara langsung, tanpa perantara birokrasi.

 

Relawan yang datang satu kali tetapi viral bukan masalah komunikasi, itu adalah tanda bahwa masyarakat melihat kerja nyata di lapangan. Jika negara merasa upaya mereka “tidak terlihat”, maka jawabannya bukan menegur relawan yang bekerja, tetapi meningkatkan efektivitas komunikasi dan penanganan di level akar rumput. Dalam konteks bencana, relawan adalah mitra, bukan lawan narasi.

 

Memposisikan masyarakat sipil sebagai ancaman bagi citra pemerintah menunjukkan bahwa yang dilindungi bukan rakyat korban bencana, tetapi reputasi politik.

 

Solidaritas Tidak Bisa Diukur dengan Besarnya Anggaran

 

Anggaran negara yang “triliunan” bukanlah alat pembenaran moral. Apakah masyarakat merasakan semua itu? Seberapa besar yang benar-benar sampai ke titik terdampak? Seberapa cepat distribusinya bergerak? Seberapa transparan mekanismenya?

 

Pertanyaan-pertanyaan ini justru menjadi dasar kritik publik. Ketika Endipat menyebut relawan yang menyumbang miliaran sebagai seolah-olah pencari panggung, ia gagal membaca bahwa publik menilai ketulusan dari tindakan langsung bukan dari angka dalam laporan APBN.

 

Solidaritas rakyat lahir dari ruang emosional dan moral, bukan birokrasi. Menempatkan kedua hal itu dalam tabel perbandingan nominal menunjukkan krisis empati yang meresahkan.

 

Kritik Publik Bukan Ancaman, Tetapi Parameter Kinerja

 

Dalam demokrasi, pejabat publik tidak boleh bersikap defensif terhadap kritik. Kritik bukan tanda permusuhan, tetapi mekanisme kontrol agar kekuasaan tidak berjalan liar tanpa akuntabilitas.

 

Namun pernyataan Endipat mengindikasikan bahwa kritik, terutama kritik yang viral, dianggap sebagai ancaman yang harus dilawan dengan kekuatan digital pemerintah.

 

Ini adalah paradigma komunikasi kekuasaan yang usang mengelola persepsi ketimbang memperbaiki kinerja. Padahal, jika penanggulangan bencana negara terbukti efektif, publik tidak akan ragu mengakui. Viral atau tidak, fakta lapangan lebih kuat dari propaganda.

 

Relawan tidak perlu “dikalahkan”, mereka perlu dirangkul. Mereka bukan kompetitor pemerintah, tetapi jaringan penyelamat yang sering kali mengisi celah yang birokrasi lambat untuk menutup.

 

Siapa yang Sebenarnya Diwakili?

 

Dalam kondisi di mana rakyat sedang menderita, wakil rakyat seharusnya berdiri sebagai suara empati, pengawas penggunaan anggaran, dan penghubung kebutuhan daerah dengan pemerintah pusat. Namun pernyataan Endipat justru mengemukakan pertanyaan penting:

• Apakah ia mewakili aspirasi masyarakat terdampak?

• Ataukah ia mewakili kebutuhan pemerintah untuk memperbaiki citra?

• Mengapa fokusnya adalah narasi publik, bukan validasi lapangan?

• Mengapa relawan menjadi sasaran kritik, bukan sistem penanganan yang harus dievaluasi?

 

Editorial ini tidak mengadili pribadi. Tetapi sebagai pejabat publik, seorang anggota DPR wajib memahami sensitivitas bencana. Kata-kata memiliki dampak. Dalam tragedi kemanusiaan, retorika kompetitif bukan hanya tidak pantas, tetapi juga mencederai kepercayaan rakyat terhadap wakilnya sendiri.

 

Bencana Bukan Panggung Kekuasaan

 

Tragedi bukan ruang untuk debat angka. Bukan ajang adu viral. Bukan kompetisi antara relawan dan negara. Bencana adalah ruang moral bagi kemanusiaan untuk bekerja tanpa hierarki.

 

Pernyataan Endipat menunjukkan betapa jauhnya sebagian pejabat kita dari etika kelembagaan dan nilai dasar solidaritas. Alih-alih merendahkan gotong royong masyarakat, seorang wakil rakyat seharusnya menjadi jembatan, memastikan bahwa anggaran triliunan benar-benar menyentuh rakyat, dan memastikan relawan bekerja dengan dukungan, bukan kecurigaan.

Karena pada akhirnya, sejarah tidak mencatat siapa yang paling banyak bicara.

Sejarah mencatat siapa yang hadir ditengah Kondisi Darurat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *