AnambasBatamBeritaBerita UtamaBintanKarimunKepulauan RiauLinggaNasionalNatunaTanjungpinang

Puluhan Kapal Asing Masuk Natuna dan Anambas, Nelayan Kepri Menjerit

8
×

Puluhan Kapal Asing Masuk Natuna dan Anambas, Nelayan Kepri Menjerit

Sebarkan artikel ini

Selingsing.com, Tanjungpinang – Ibarat tamu tak diundang, puluhan kapal nelayan asing wara-wiri di laut Natuna dan Anambas sepekan terakhir. Ironisnya, sementara kapal asing bebas menjelajah, nelayan lokal justru diburu dan dikenai denda puluhan juta rupiah hanya karena belum ‘migrasi’ izin tangkap.

Kejanggalan ini diungkap langsung oleh Ketua HNSI Kepulauan Riau dan juga Ketua Forum Komunikasi Nelayan Nusantara, Distra Wandi, dalam wawancara bersama Selingsing.com, usai aksi nelayan di depan Kantor DPRD Kepri, Kamis (15/5).

“Teman-teman media juga tahu, kapal asing itu bukan hal baru di sini. Minggu lalu saja, puluhan kapal nelayan asing masuk, lengkap dengan kapal angkutnya. Tapi nelayan lokal yang ditindak, bukan mereka,” tegas Distra.

Ia menyebutkan bahwa nelayan lokal, terutama dari Natuna dan Anambas, selama ini sudah menjadi ‘mata dan telinga’ negara di laut. Namun mereka bekerja dalam keterbatasan. “Pemerintah minta kami awasi laut, tapi tak sediakan alat komunikasi. Coba kalau nelayan dibekali Starlink, pasti lebih mudah laporkan kapal asing yang masuk,” lanjutnya.

Negara Absen, Laut Dikuasai Asing

Menurut Distra, ketidaksiapan pemerintah pusat dalam membekali nelayan dengan sarana pendukung menyebabkan pengawasan laut di wilayah Kepri menjadi lemah.

“Wilayah pengawasan kita luas, dari Selat Karimata sampai Laut Natuna. Tapi bakamla, polairud, atau DKP? Semua bilang ada, tapi realitanya kapal asing bisa masuk dengan mudah. Kita harus tanya: kerjanya di mana?” ujarnya dengan nada tajam.

Kritik tak hanya berhenti di situ. Distra juga menuding kebijakan zonasi tangkap dan migrasi kapal nelayan GT6 sampai GT29 sebagai bentuk ketidakadilan sistemik.

“Nelayan kita disuruh migrasi izin, yang jelas-jelas tidak siap sistemnya. Tapi saat mereka tetap melaut karena kebutuhan, malah ditangkap PSDKP dan didenda. Ada yang kena Rp21 juta, Rp28 juta. Totalnya sudah ratusan juta masuk ke PAD provinsi,” bebernya.

Kontras antara perlakuan terhadap kapal nelayan asing dan nelayan lokal menjadi sorotan utama dalam aksi tersebut. Di satu sisi, laut Indonesia diobok-obok oleh kapal asing tanpa sanksi jelas. Di sisi lain, nelayan lokal dibebani aturan teknis yang rumit dan dikenai sanksi berat saat mencoba bertahan hidup.

“Laut ini bukan milik investor asing. Kami yang hidup di sini, kami yang jaga. Tapi malah kami yang ditangkap. Di mana keadilan?” ujar Distra dengan suara meninggi.

Aksi damai nelayan di DPRD Kepri bukan sekadar protes. Mereka menuntut agar kebijakan penangkapan ikan terukur dan sistem migrasi perizinan ditinjau ulang. Mereka juga mendesak pemerintah pusat untuk serius memperkuat pengawasan laut dan melindungi nelayan lokal dari ancaman kapal asing serta jeratan hukum yang diskriminatif.

“Negara ini terlalu mudah percaya pada kapal asing, tapi terlalu keras kepada nelayannya sendiri. Kami tidak diam. Kami akan lawan kebijakan yang membunuh kami pelan-pelan,” tutup Distra. (Budi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *