Oleh: Hendri Efendi, Kabid PPPA Komisariat FISIP UMRAH
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) berdiri sebagai wadah perjuangan intelektual, spiritual, dan sosial. Sejak kelahirannya pada 5 Februari 1947, HMI telah melahirkan banyak tokoh bangsa, akademisi, birokrat, bahkan pemimpin nasional.
Namun di tengah dinamika zaman, HMI kini dihadapkan pada tantangan serius dengan munculnya generasi instan yaitu kelompok mahasiswa yang ingin cepat menjadi “kader”, namun enggan menjalani proses.
Fenomena ini terlihat jelas dari pola partisipasi sebagian peserta Basic Training (LK 1). Banyak yang berbondong-bondong mendaftar, namun tak sedikit yang menghilang setelah pelatihan selesai. Mereka hanya hadir untuk sertifikat, dokumentasi, dan pengakuan sosial. Bagi mereka, keikutsertaan dalam LK 1 seolah sudah cukup untuk menyandang status kader HMI. Padahal, LK 1 sejatinya adalah gerbang awal, bukan titik akhir.
Kecenderungan ini bukan sekadar masalah teknis kehadiran pasca-LK, Ini adalah masalah orientasi. Generasi instan lebih menyukai hasil cepat daripada proses panjang, Mereka lebih tertarik pada simbol daripada substansi. Dan di sinilah marwah perkaderan HMI diuji.
HMI bukan lembaga seremonial. Ia adalah kawah candradimuka tempat terbentuknya insan akademis, pencipta, pengabdi, dan pejuang. Setiap kader harus melewati tahapan-tahapan pembinaan yang konsisten mulai dari pemahaman nilai dasar perjuangan, penguatan intelektual, sampai keterlibatan langsung dalam kerja-kerja sosial dan organisasi.
Proses ini tidak selalu mudah. Ia membutuhkan ketekunan, kesabaran, bahkan pengorbanan. Namun di situlah makna sejati dari kata “kader.” Sebab seorang kader bukan hanya mereka yang datang saat ramai, tetapi mereka yang bertahan dan terus berkontribusi meski tak dilihat banyak orang.
Sebagai pengurus, kita harus berani mengakui bahwa sistem perkaderan perlu terus diperkuat, Pendampingan pasca-LK harus digalakkan, Forum-forum diskusi harus dihidupkan kembali. Proses mentoring, penguatan ideologi, dan keterlibatan kader dalam kegiatan kolektif harus menjadi prioritas.
Kita tidak bisa terus berharap kader akan datang sendiri ke forum jika forum itu sendiri tidak lagi memberi ruang yang hidup. Kita harus ciptakan atmosfer belajar yang menyenangkan, membangun komunitas intelektual yang egaliter, serta memberikan tantangan-tantangan yang membentuk daya tahan. Fenomena generasi instan bukan sepenuhnya salah kader.
Ia juga refleksi dari kita para pengurus dan alumni yang mungkin terlalu sibuk dalam agenda teknis dan lupa membina secara kultural. HMI tak bisa hanya dibesarkan oleh struktur, tapi oleh kultur. Kultur itulah yang menjaga nyala semangat perkaderan.
Oleh karena itu, tugas kita hari ini bukan sekadar menyelenggarakan LK, tetapi menghidupkan kembali makna perjuangan.
Mari kita rawat proses, bukan hanya hasil. Mari kita bentuk kader yang sadar visi, bukan sekadar pengikut. Karena tantangan bangsa ini tak akan selesai dengan kader seremonial. Ia membutuhkan kader sejati: yang siap belajar, siap dibina, dan siap mengabdi.
HMI hari ini butuh generasi yang tidak hanya bangga memakai Gordon HMI, tetapi juga berani memikul beban sejarahnya. Generasi yang tak hanya siap jadi kader, tetapi siap berproses menjadi manusia yang berguna bagi umat dan bangsa. Dan itu hanya bisa lahir dari proses yang panjang, terarah, dan penuh kesadaran.