BeritaBerita UtamaNasional

Bintan: Dari Tambang Bauksit Hingga Pasir, Tanah Menganga Dari Atas Udara

43
×

Bintan: Dari Tambang Bauksit Hingga Pasir, Tanah Menganga Dari Atas Udara

Sebarkan artikel ini
Keterangan Foto: tambang di Kabupaten Bintan, Dok (Green Berita)

Selingsing.com, Bintan — Dahulu dikenal sebagai destinasi impian dengan lanskap hijau dan pantai menawan, kini Bintan menyimpan luka menganga yang tak mudah sembuh. Bukit-bukit yang dulu menjadi latar keindahan kini berubah menjadi kawah raksasa tak bertuan. Bekas tambang pasir ilegal menganga di banyak titik—diam tapi mematikan.

Dari udara, lanskap Bintan tampak tak lagi bersahabat: danau-danau buatan berair keruh menenggelamkan jejak kehidupan. Di darat, tanah longsor mengintai, dan petani kehilangan lahan subur yang telah diwariskan turun-temurun.

Di Balik Tambang: Siapa yang Bermain?

“Dulu kami bercocok tanam, sekarang cuma bisa nonton tanah kami dikoyak alat berat,” ujar seorang warga Kampung Galang Batang yang meminta identitasnya disamarkan.

Suara putus asa itu bukan satu-satunya. Di berbagai desa di Gunung Kijang hingga Kawal, para warga terpaksa memilih bekerja di tambang ilegal karena tidak ada opsi lain. Kemiskinan dan keterbatasan akses ekonomi menjelma menjadi alasan “logis” untuk turut serta dalam perusakan tanah kelahiran mereka.

Pasir dari Bintan dikenal berkualitas tinggi. Tak hanya diburu untuk pembangunan lokal, tapi juga diekspor diam-diam. Permintaan yang tinggi melahirkan bisnis gelap yang nyaris tak tersentuh hukum.

Pihak berwajib tak tinggal diam—setidaknya di atas kertas. Rabu (9/3/2025), Polres Bintan kembali melakukan pengecekan ke enam titik lokasi di Gunung Kijang dan sekitarnya. Namun hasilnya nihil. Tidak ada alat berat. Tidak ada aktivitas. Hanya sisa-sisa lubang besar yang jadi saksi bisu penambangan ilegal yang telah berlalu.

“Tidak ditemukan aktivitas tambang ilegal. Kami hanya menemukan bekas-bekasnya,” ujar IPDA Ady Satrio dari Unit Tipiter Satreskrim Polres Bintan.

Namun pertanyaannya, bagaimana mungkin aktivitas sebesar itu bisa menghilang tanpa jejak hanya dalam hitungan hari? Warga setempat menyebut operasi penertiban seperti ini datang “terlambat dengan sengaja”.

“Biasanya, mereka (penambang) sudah dapat bocoran. Begitu polisi datang, lokasi sudah kosong,” ungkap seorang tokoh masyarakat setempat.

Lemahnya Penegakan Hukum, atau Ada yang Menutup Mata

Aktivis lingkungan Hermansyah menilai penegakan hukum di Bintan cenderung “lunak dan membingungkan”.

“Sudah puluhan lubang besar menghantam tanah Bintan. Tapi mengapa tak satupun pelaku besar yang ditangkap? Ada yang salah di sini,” tegasnya.

Dugaan keterlibatan oknum aparat atau adanya “main mata” dengan pengusaha tambang ilegal terus mencuat, tapi tak pernah benar-benar ditindaklanjuti.

Pemerintah daerah mengaku telah berupaya menindak. Namun dari laporan investigasi kami, kerusakan justru semakin meluas. Reklamasi lahan nyaris tak tersentuh. Program alternatif ekonomi bagi warga hanya menjadi bahan pidato, bukan kenyataan.

Hingga kini, tidak ada kepastian siapa yang akan memulihkan ribuan hektar lahan rusak itu. Tidak ada juga jaminan bahwa aktivitas tambang liar tidak akan kembali esok hari.

Jika tidak ada tindakan nyata dan tegas, Bintan bukan lagi surga wisata. Ia akan tercatat dalam sejarah sebagai contoh kegagalan pengelolaan sumber daya alam: tempat di mana kekayaan bumi dikeruk tanpa ampun, sementara rakyatnya dibiarkan menggali lubang—baik untuk pasir, maupun untuk masa depan mereka sendiri.

Bintan sedang menunggu—menunggu keadilan, menunggu nyali pemimpin, menunggu siapa yang benar-benar peduli.

Dan sampai itu datang, lubang-lubang itu akan terus membesar. Menganga. Mengingatkan kita: bahwa diam bisa lebih merusak dari tambang mana pun. (Budi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *