Selingsing.com, Lingga – Saat semangat Idul Adha seharusnya menjadi momentum berbagi dan kebangkitan ekonomi lokal, realitas di Kabupaten Lingga justru menunjukkan wajah buram dari krisis yang seolah dibiarkan.
Peternak-peternak lokal seperti Ben Agusmar, pemilik PAK BEN FARM, tak lagi bicara soal untung. Mereka kini hanya berharap hewan ternaknya tak sepenuhnya jadi beban. Jangankan keuntungan, menjual pun kini ibarat menanti keajaiban.
“Biasanya kami kewalahan di minggu ini. Tapi sekarang, pembeli bisa dihitung jari,” ujar Ben dengan nada getir, Rabu (4/6/2025). Dari 50 kambing dan lebih dari 30 sapi yang ia siapkan, baru belasan yang laku. Semua hewan adalah hasil ternak lokal, bukan kiriman luar daerah — bukti komitmen memberdayakan ekonomi sendiri. Tapi komitmen itu tak cukup, jika tak didukung ekosistem yang sehat.
Yang menyakitkan, lanjut Ben, bahkan warga sekitar mulai menitipkan ternak pribadi kepadanya, berharap bisa dijualkan karena mereka tak sanggup lagi menanggung biaya pakan.
Lemahnya daya beli masyarakat membuat harga hewan kurban jatuh. Harga sapi kini dimulai dari Rp14 juta — harga yang sudah dipangkas jauh dari tahun-tahun sebelumnya. Tapi tetap saja, peminat sepi. Penurunan ini bahkan menjalar hingga ke masjid-masjid.
Di Surau Al-Faizun, Desa Tanjung Harapan, jumlah hewan kurban anjlok dari empat ekor sapi tahun lalu menjadi hanya dua ekor tahun ini. Ketua pengurusnya, Andre, menyebut “banyak yang ingin berkurban, tapi tak sanggup secara ekonomi.”
Lalu di mana peran pemerintah?
Situasi ini semestinya menjadi alarm keras bagi Pemerintah Kabupaten Lingga. Namun sejauh ini, belum tampak langkah konkret yang berpihak pada peternak maupun masyarakat kecil. Bantuan stimulus? Program subsidi pakan? Kampanye pembelian hewan kurban lokal? Tak ada yang terasa.
Yang muncul justru ironi. Di saat peternak lokal kesulitan menjual hasil ternaknya, kapal pengangkut sapi dari Jambi bersandar di Lingga — bukan untuk warga Lingga, melainkan hanya transit menuju Tanjungpinang. Kehadiran logistik luar yang hanya “menyapa” tanpa memberi manfaat adalah simbol dari lemahnya proteksi terhadap ekonomi lokal.
Jika tren ini berlanjut, bukan hanya tahun ini yang suram.
Peternakan lokal bisa lumpuh. Generasi muda kehilangan semangat untuk bertani atau beternak. Dan Lingga, yang dulu dikenal sebagai salah satu lumbung ternak di Kepulauan Riau, akan kehilangan pijakannya sendiri.
Lebih dari sekadar krisis ekonomi, ini adalah krisis arah pembangunan.
Tanpa keberpihakan nyata pada ekonomi rakyat — terutama sektor mikro seperti peternakan — maka jargon kemandirian pangan dan ekonomi kerakyatan hanya akan tinggal sebagai slogan kosong dalam dokumen RPJMD.
Sementara itu, para peternak terus berharap. Bukan lagi pada pemerintah, tapi pada sisa-sisa hari jelang Idul Adha. Mereka tahu, harapan tak cukup untuk menyambung hidup. Tapi di Lingga, sering kali, hanya itu yang tersisa. (Budi)