BeritaBerita UtamaBintanDaerahKepulauan RiauNasional

Tambang Pasir Kembali Ancam Kepulauan Riau

114
×

Tambang Pasir Kembali Ancam Kepulauan Riau

Sebarkan artikel ini
Keterangan foto: Ketua Formasi Kepulauan Riau (Ari Saputra), Dok (Sl)

Selingsing.com, Bintan – Di pesisir Desa Numbing, Kecamatan Bintan Pesisir, Kabupaten Bintan, suara mesin tambang pasir kembali menggelegar, seolah membangunkan luka lama yang belum sembuh. Lautan keruh, nelayan mengeluh, dan keberlanjutan hidup masyarakat pesisir kembali dipertaruhkan—semua atas nama investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Tak banyak yang tahu, sejarah kelam Kepulauan Riau pernah tercatat dalam laporan internasional: pulau-pulau hilang dari peta, reklamasi masif di Singapura, dan mata pencaharian ribuan nelayan musnah tanpa jejak. Kini, arloji sejarah tampaknya berputar mundur.

Menurut catatan Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2023, sebanyak 26 pulau di Kepulauan Riau tenggelam akibat eksploitasi pasir laut yang sembrono. Ini bukan sekadar statistik, tetapi tanda tanya besar tentang siapa sebenarnya yang diuntungkan dari ‘kemakmuran’ ini.

Ketua Forum Mahasiswa Lintas Generasi (FORMASI) Kepulauan Riau, Ari Saputra, mengingatkan: “Dulu Bintan dikeruk untuk Singapura. Kini, sejarah nyaris terulang.”
Menurutnya, penambangan di Desa Numbing membawa ancaman langsung. Lautan menjadi keruh, ekosistem pesisir terganggu, dan nelayan terpaksa melaut lebih jauh, membakar lebih banyak solar, hanya untuk mendapatkan hasil yang semakin menipis.

Dalam praktiknya, pengerukan pasir laut tidak hanya merusak dasar laut, tetapi juga memicu erosi, mengganggu rantai makanan laut, dan menghancurkan habitat alami biota laut. Padahal, berdasarkan UNCLOS 1982, negara memiliki kewajiban mutlak untuk melindungi laut dari pencemaran melalui tindakan nyata dan konservatif.

Namun, penerapan PP 26/2023 justru membuka celah besar. Alih-alih memperketat perlindungan, regulasi ini diduga memperlonggar aktivitas eksploitasi, memberi ruang bagi perusahaan-perusahaan tambang untuk menambang lebih agresif.

FORMASI mengungkapkan temuan mencengangkan: dua perusahaan yang disebut aktif menambang di kawasan ini, PT Galian Sukses Mandiri (GSM) dan PT Berkah Lautan Kepri (BLK), ternyata belum terdaftar dalam daftar resmi IUP/IUPK yang dipublikasikan Kementerian ESDM melalui portal modi.esdm.go.id.

Lebih ironis lagi, saat digelar konsultasi publik untuk AMDAL, sebagian besar masyarakat menolak keras proyek ini. Namun, suara-suara itu nyaris tenggelam dalam riuhnya investasi. Padahal, menurut aturan, penolakan komunitas lokal seharusnya menjadi pertimbangan utama bagi instansi seperti DLH Bintan, DLH Provinsi Kepri, DKP, dan ESDM sebelum mengeluarkan izin.

Laporan CNN Indonesia bahkan mencatat pernyataan Camat Bintan Pesisir yang secara terbuka mengakui ketidakjelasan status AMDAL perusahaan-perusahaan tersebut—menguatkan dugaan bahwa aktivitas tambang ini berjalan di atas dasar hukum yang rapuh.

Kepada Selingsing.com, beberapa nelayan Numbing mengaku kini sulit menangkap ikan di perairan sekitar tambang. “Airnya keruh, Pak. Jangankan ikan, jaring pun kotor semua,” keluh seorang nelayan yang enggan disebutkan namanya.
Biaya operasional melonjak, hasil tangkapan menurun drastis. Ini berarti bukan hanya kerusakan lingkungan yang terjadi, tapi juga krisis ekonomi tingkat desa yang perlahan-lahan membunuh masyarakat dari dalam.

“Kalau ini dibiarkan, dalam lima tahun, bukan hanya ekosistem laut yang hilang, tapi juga desa-desa pesisir,” kata Ari Saputra.

Fenomena serupa bukan hanya terjadi di Indonesia. BBC dalam laporan 2020 menyebutkan, perdagangan pasir adalah “bisnis gelap” bernilai miliaran dolar di seluruh dunia, mendorong konflik sosial, kriminalitas, hingga kerusakan lingkungan besar-besaran.

Indonesia—khususnya Kepulauan Riau—sering kali menjadi aktor korban, bukan pelaku utama.

Kini, Desa Numbing, Bintan, menjadi panggung dari drama lama yang terulang. Di satu sisi, investasi dan pertumbuhan ekonomi dijadikan alasan. Di sisi lain, masyarakat pesisir, yang paling bergantung pada laut, kembali menjadi tumbal.

FORMASI mendesak pemerintah untuk segera menghentikan aktivitas tambang ilegal ini dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin-izin tambang pasir laut di Kepri.

Mereka mengingatkan: “Jangan biarkan Bintan menjadi kenangan yang terkubur di dasar laut.” (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *