Selingsing.com, Sumut – Rasa keadilan yang terabaikan membawa puluhan tokoh adat dari Punguan Sonakmalela Toba bersama ibu korban dan tim hukum mendatangi Mapolres Tapanuli Utara, Senin (2/6/2025). Mereka menuntut kepastian hukum atas dugaan kasus pelecehan seksual terhadap anak balita berusia 4,5 tahun, yang juga merupakan anak berkebutuhan khusus.
Kedatangan rombongan bukan sekadar menghadiri panggilan klarifikasi, tetapi sekaligus bentuk protes atas lambannya proses hukum yang telah berjalan lebih dari enam bulan.
“Ini bukan soal adat semata, ini soal harga diri. Bere kami, anak dari boru Sonakmalela, menjadi korban. Hukum tidak boleh tumpul karena pelaku seorang kepala sekolah dan ASN,” tegas Tengku Pardede, Ketua Umum Rajasonakmalela Toba, mewakili suara komunitas adat dari berbagai penjuru Nusantara.
SS, terduga pelaku, menjabat sebagai kepala sekolah dasar di wilayah Siborong-borong. Nama baik profesi guru dan institusi pendidikan kini tercoreng akibat dugaan perbuatan tidak senonoh terhadap anak balita.
“Seorang pendidik seharusnya menjadi pelindung, bukan pemangsa. Ini bukan sekadar kasus pribadi. Ini pukulan terhadap seluruh dunia pendidikan,” tegas Pardede.
Tim hukum dari Dalihan Natolu Law Firm mengungkapkan bahwa proses visum sudah selesai, keterangan saksi sudah dikantongi, bahkan korban telah memberikan penjelasan langsung kepada penyidik saat konfrontasi dengan pelaku.
“Korban menunjuk langsung kepada terduga, menjelaskan perbuatannya dengan cara memperagakan. Ini sesuai Pasal 184 KUHAP. Sudah lebih dari cukup untuk naik ke tahap penyidikan,” ujar pengacara Daniel Simangunsong, SH, MH, didampingi Bonar Sihombing, SH, dan Ayub Imanuel Pandia, SH.
Pihak kuasa hukum mendesak Polres Tapanuli Utara untuk segera menetapkan tersangka dan tidak menunggu tekanan publik lebih besar.
“Kalau dua alat bukti sudah terpenuhi, penyidik wajib menaikkan perkara ini. Jangan tunggu ada korban baru,” tambah Bonar Sihombing.
Kuatnya tekanan dari masyarakat adat bukan tanpa alasan. Liber Marpaung dari Parsadaan Pomparan Raja Sonakmalela dan Theresia Pardede dari komunitas Pardede TikTok Sedunia menyuarakan kekhawatiran yang sama: keadilan jangan dibungkam oleh status sosial pelaku.
Sementara itu, aktivis perlindungan anak Fendiv Januar Lumbantobing mengingatkan pentingnya peran pemerintah daerah dalam menangani pemulihan trauma korban.
“Pemkab Taput jangan hanya diam. Anak berkebutuhan khusus korban kekerasan seksual perlu pendampingan psikologis. Ini bukan hanya soal hukum, tapi juga kemanusiaan,” tegas Fendiv.
Ia juga menekankan agar Polres Tapanuli Utara menuntaskan kasus ini sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Sistem Peradilan Pidana Anak, mengingat urgensi dan kerentanan korban.
Menanggapi tekanan dari berbagai pihak, AKP Arifin Purba, SH, MH, dari Polres Tapanuli Utara menyatakan bahwa penyelidikan tengah dilakukan secara intensif.
“Kami serius menangani kasus ini. Pemeriksaan saksi dan pengumpulan bukti berjalan maraton,” ungkap Arifin kepada media.
Kuasa hukum korban menyambut baik keterbukaan tersebut, namun tetap menekankan pentingnya progres nyata.
“Kami apresiasi sikap Kasat Reskrim yang menyambut baik kami dan berjanji kasus segera dinaikkan ke tahap penyidikan. Tapi kami tetap akan kawal hingga tuntas,” pungkas Daniel Simangunsong.
Dengan mengusung marwah adat, suara hukum, dan kepedulian publik, keluarga besar Rajasonakmalela Toba menyatakan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga pelaku mendapatkan ganjaran yang setimpal.
“Ini bukan sekadar memperjuangkan seorang anak. Ini perjuangan melawan ketidakadilan, agar tak ada lagi anak yang menjadi korban pelecehan tanpa perlindungan,” tutup Tengku Pardede. (Tim)