AnambasBatamBeritaBerita UtamaBintanDaerahKarimunKepulauan RiauLinggaNasionalNatunaTanjungpinang

Dua Calon PT Energi Kepri Diduga Langgar Syarat Mutlak

62
×

Dua Calon PT Energi Kepri Diduga Langgar Syarat Mutlak

Sebarkan artikel ini
Keterangan Foto: Migas yang Beroperasi di Laut Natuna Utara, Provinsi Kepri, Dok (Ist)

 

Selingsing.com, Tanjungpinang — Proses seleksi calon Direktur Utama PT Energi Kepri (Perseroda) kembali menempatkan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau di bawah sorotan tajam publik.

Alih-alih menjadi ajang seleksi terbuka yang menjunjung prinsip transparansi dan meritokrasi, hasil yang diumumkan justru menimbulkan polemik dan membuka dugaan kuat adanya pelanggaran prosedural dan permainan kepentingan.

Dalam pengumuman resmi yang dirilis melalui portal pemerintah, panitia seleksi yang diketuai langsung oleh Sekretaris Daerah Provinsi Kepri menyatakan tiga nama lolos sebagai calon Direktur Utama: Sri Yunihastuti, Muhammad Iqbal, dan Adviseri.

Namun, dari tiga nama tersebut, dua di antaranya Sri Yunihastuti dan Muhammad Iqbal diduga tidak memenuhi syarat administratif yang telah ditentukan sendiri oleh panitia seleksi.

Nama Muhammad Iqbal menjadi sorotan utama. Berdasarkan informasi yang dihimpun dari data yang dimiliki redaksi, usia M. Iqbal sudah melampaui batas maksimal 55 tahun sebagaimana ditetapkan dalam dokumen persyaratan seleksi.

Tidak hanya itu, M. Iqbal juga terlihat tidak menyertakan sertifikat TOEFL yang seharusnya menjadi bagian dari kelengkapan administrasi dalam proses seleksi.

Dalam konteks seleksi jabatan strategis di BUMD energi, kualifikasi bahasa asing menjadi penting mengingat potensi kerja sama internasional dan keterlibatan dengan mitra global dalam industri energi.

Ketidakhadiran dokumen TOEFL ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi juga menandakan lemahnya verifikasi dokumen oleh panitia seleksi.

“Kalau soal usia dan TOEFL saja bisa diloloskan, lalu di mana ketegasan panitia? Ini bukan persoalan teknis, ini soal integritas sistem seleksi,” ujar Wahyu Milsandi Koordinator Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau

Calon Lainnya Tak Punya Sertifikasi Khusus atau HSE, Tapi Tetap Melaju

Sementara itu, calon lainnya, Sri Yunihastuti, dipertanyakan kelayakannya karena tidak memiliki sertifikat safety khusus migas atau HSE (Health, Safety, and Environment) sebuah dokumen krusial dalam sektor energi, yang menjadi salah satu persyaratan utama dalam pengumuman persyaratan.

Sertifikat ini bukan hanya simbol, tetapi standar kompetensi profesional dalam bidang migas dan energi yang menjamin pemahaman terhadap keselamatan kerja, mitigasi risiko, dan pengelolaan lingkungan.

Absennya Sertifikasi Khusus atau HSE dalam profil Sri Yunihastuti membuat sebuah pertanyaan besar, bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki pemahaman teknis memadai tentang keselamatan industri bisa dipertimbangkan memimpin BUMD energi? Di sektor dengan risiko tinggi seperti migas, kelalaian atau ketidaktahuan bisa berdampak pada keselamatan pekerja dan kerugian finansial besar.

Dugaan publik bahwa proses ini tidak berjalan secara adil semakin kuat ketika seorang sumber internal menyebut bahwa nama-nama yang diloloskan sudah “disiapkan” sejak awal.

“Ada permainan dalam proses ini. Sejak sebelum seleksi dibuka, nama-nama itu sudah beredar di lingkaran elite,” ungkap sumber yang tidak ingin disebutkan namanya.

Jika pernyataan ini benar, maka seleksi ini hanya menjadi formalitas yang bertujuan untuk melegitimasi keputusan politik atau titipan kekuasaan.

Dalam konteks good governance, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip akuntabilitas publik dan tata kelola perusahaan yang sehat.

BUMD Energi Strategis, Tapi Diperlakukan Seperti Perusahaan Pribadi

PT Energi Kepri bukan BUMD biasa. Ia didirikan untuk mempercepat kemandirian energi di Provinsi Kepulauan Riau, wilayah yang kaya akan potensi gas, energi baru terbarukan, dan bahkan kemungkinan pengembangan bioenergi dari kawasan perbatasan. Pemimpin perusahaan ini harus memiliki kompetensi teknis, manajerial, dan integritas tinggi.

Namun proses seleksi yang cacat justru mengindikasikan bahwa BUMD ini sedang dikerdilkan fungsinya menjadi tempat “parkir jabatan” atau alat bagi elite untuk mengontrol sumber daya ekonomi daerah.

Jika orang-orang yang tidak memenuhi syarat tetap diloloskan tanpa penjelasan logis dan terbuka, maka bukan hanya kredibilitas PT Energi Kepri yang hancur, melainkan juga potensi ekonomi daerah yang ikut dikorbankan.

Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah Serukan Audit Independen

Jaringan Pengawas Kebijakan Pemerintah (JPKP) Kepri kini menuntut pembukaan penuh seluruh dokumen seleksi: dari daftar pelamar, hasil evaluasi, hingga notulensi rapat panitia.

Mereka mendesak agar Ombudsman dan Komisi Informasi Daerah turun tangan melakukan klarifikasi dan penyelidikan atas kemungkinan maladministrasi dalam proses ini.

JPKP Kepri bahkan mengancam akan mengajukan gugatan informasi publik jika seluruh tahapan seleksi tidak dipublikasikan.

“Ini bukan rahasia negara, ini soal uang rakyat dan tata kelola yang sehat. Kalau panitia merasa prosesnya bersih, silakan buka semua dokumen. Kalau takut dibuka, berarti ada yang disembunyikan,” ujar Wahyu Milsandi.

Jika kasus ini dibiarkan tanpa koreksi, maka akan menjadi preseden buruk bagi seleksi direksi BUMD lainnya di Kepulauan Riau. Praktik pembiaran seperti ini mengirim sinyal bahwa profesionalisme bukan prioritas, dan siapa yang dekat dengan kekuasaan punya peluang lebih besar terlepas dari kemampuan dan kelayakan.

Ini juga memperkuat persepsi publik bahwa BUMD di Kepri bukan menjadi instrumen pembangunan daerah, melainkan alat transaksi kekuasaan.

Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya merusak kepercayaan publik, tapi juga membahayakan stabilitas ekonomi daerah.

Kasus seleksi PT Energi Kepri kini menjadi ujian nyata bagi Pemerintah Provinsi Kepri. Apakah pemerintah berani memperbaiki proses yang dinilai cacat ini? Atau justru akan membiarkan nama-nama “titipan” itu melaju dan duduk di kursi strategis?

Sorotan terhadap proses ini menunjukkan bahwa masyarakat Kepri menuntut pemerintahan yang bersih, transparan, dan berpihak pada kepentingan daerah—bukan segelintir elite.

Jika pemerintah gagal menjawab tuntutan ini secara terbuka, maka bukan tidak mungkin gelombang ketidakpercayaan terhadap seluruh proses pengelolaan BUMD di Kepri akan menguat dan meluas. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *