Oleh: Fika Suci Mutia, Mahasiswa STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang
Di tengah derasnya hujan yang seolah turut menangisi keadaan, puluhan warga Tanjungpinang memutuskan bahwa diam bukan lagi pilihan. Mereka bergotong royong, bukan untuk perayaan atau hajatan, melainkan untuk menggeser barrier yang selama ini menjadi penghalang utama di Simpang Kota Piring.
Spontan, penuh emosi, dan bermodal keberanian, aksi itu bukan sekadar membuka jalan—tapi juga meneriakkan kekecewaan yang selama ini terpendam.
Simpang Kota Piring bukan sekadar pertemuan empat jalan. Ia adalah denyut nadi bagi warga yang setiap hari bergantung padanya untuk bekerja, bersekolah, berdagang, dan menjalani hidup.
Namun, entah atas dasar keputusan siapa, akses itu ditutup kembali pada 12 Maret 2025, setelah sebelumnya sempat dibuka Maret lalu pasca longsor yang menimpa bahu jalan. Sejak itu, warga terpaksa memutar jauh ke U-turn Jalan WR. Supratman. Jarak bertambah, waktu terbuang, dan bensin pun ikut menjerit.
Namun, yang lebih menyakitkan bukanlah jauhnya jarak, melainkan dekatnya kekecewaan. Pemerintah seakan menutup mata, telinga, dan hati.
Tak ada penjelasan, tak ada komunikasi, seolah warga hanya figuran dalam drama kebijakan yang tak mereka pahami alurnya. Ketika suara rakyat tak digubris, aksi pun menjadi satu-satunya bahasa yang mereka punya.
Mereka berkumpul bukan karena undangan, tapi karena kesadaran bersama bahwa hak atas akses dan informasi telah dirampas secara perlahan. Di tengah genangan air hujan, mereka tetap berdiri. Mereka bukan sekadar mendorong barrier fisik, tapi juga menabrak tembok ketidakpedulian.
Salah seorang warga dengan getir menyampaikan bahwa penutupan jalan itu telah merusak ritme kerjanya. Dan ia bukan satu-satunya. Di balik tiap motor yang terpaksa memutar, ada cerita tentang keterlambatan, ongkos membengkak, dan lelah yang tak terlihat oleh pengambil kebijakan.
Aksi ini memang spontan, tapi bukan tanpa makna. Ia adalah potret perlawanan kecil yang mengusik kesewenang-wenangan kebijakan yang minim empati. Ia adalah alarm bahwa rakyat mulai muak. Bahwa kesabaran punya batas. Bahwa hujan sekalipun tak mampu membasuh kekecewaan yang menumpuk.
Kini bola panas ada di tangan pemerintah. Akan tetap diam di balik meja rapat? Atau mulai mendengar sebelum kepercayaan benar-benar ambruk? Komunikasi bukan hanya soal memberi tahu, tapi tentang melibatkan. Tentang menghargai suara-suara kecil yang tiap hari merasakan dampak dari tiap keputusan.
Peristiwa di Simpang Kota Piring adalah cermin—bahwa masyarakat bukan boneka yang bisa dikendalikan seenaknya. Bahwa mereka bisa, dan akan, bergerak ketika haknya dikebiri. Dan jika pemerintah masih abai, bukan tidak mungkin gelombang seperti ini akan membesar.
Simpang Kota Piring telah membuka mata: warga Tanjungpinang tidak lagi diam.